Saturday, June 30, 2007

Pengajaran Mikrokontroler dan Robotika

Belum lama ini, di Bandung, ada satu komunitas yang menyelenggarakan
kompetisi robot secara rutin, 2-3 bulan sekali. Nah, ini kesempatan bagi
para siswa kita utk turut serta. Sekedar menjajal kemampuan, lah. Kita tidak
perlu minder, karena ajang ini memang utk menggali minat dan menantang
"penggemar" robot utk berkiprah lebih jauh.

Dalam 1-2 minggu terakhir ini saya tengah mendiskusikan topik seputar
mekatronika dgn beberapa idealis elektronika di tanah air. Bahkan, salah
satu pakar akan membuat sebuah program televisi untuk memajukan pembelajaran
elektronika di Indonesia (topiknya tengah disusun dan didiskusikan bersama).
Pemikiran ini terpicu oleh ide yang saya lontarkan, untuk memberikan
pelajaran tentang mikrokontroler di tingkat SMP dan SMA. Wacana ini mendapat
banyak perhatian dan komentar, dan akhirnya mengerucut dengan rencana
konkret di atas. Kita tunggu saja penayangannya :-)

Beberapa waktu lalu, saya membuat sebuah rangkaian sederhana 8 lampu yang
dihubungkan ke komputer. Kemudian, saya membuat sebuah program kecil utk
mengontrol lampu2 tsb. Wah, anak-anak saya senang sekali. Saat saya ajarkan
bagaimana membuat variasi nyala dari lampu2 tsb., langsung mereka mengambil
spidol dan menuliskan "algorithma"-nya di white board, utk kemudian
memasukkannya ke dalam program, dan melihat hasilnya. Begitu apa yang mereka
rancang sama dgn nyala lampu sebenarnya, wah, mereka melonjak kegirangan :-)
Mereka pun mulai berkreasi dgn alat sederhana ini. Mulai dengan running
light, air mancur, dan sebagainya.

Kisah di atas adalah contoh yang amat sangat sederhana, dimana kita
menggunakan komputer yang biasa digunakan untuk mengetik, utk mengontrol
peralatan elektronik di luarnya. Dgn hasil yang langsung terlihat, anak2
akan enjoy dan asyik berkreasi. Apalagi tidak perlu menyolder (menyolder
urusan Bapaknya .. hehe). Cukup tancapkan alatnya ke komputer, silahkan
berkreasi.

Nah, contoh di atas adalah utk anak SD. Saat anak saya yang SMP melihat demo
tsb., dia langsung paham. Untuk SMP harus diberi yang sedikit lebih berat
:-)

Proyek elektronika selalu menarik, apalagi yang bisa memancing interest
seperti robot. Dalam kontes robot cerdas bulan Juli kemarin, topik yang
diangkat adalah "robot pemadam kebakaran". Topik yang sama diangkat oleh
komunitas robot Bandung di atas. Robot harus mencari sumber api, mendekati
dan memadamkannya. Yang paling cepat adalah yang paling baik. Menarik,
bukan?

Mungkin kita berpikir, ah, kelihatannya sulit. Sewaktu saya kuliah, memang
sulit, karena teknologinya belum berkembang terlalu jauh. Kalau hari gini
masih bilang sulit, berarti teknologi tidak pernah berkembang. Padahal,
teknologi berkembang utk memberikan kemudahan.

Pernahkah kita membayangkan sebuah "komputer" dgn ukuran 1.5 cm x 7 cm yang
harganya cuma 15 ribu? Ah, mana mungkin? Mau yang lebih canggih, harganya 35
ribu. Ah, masa?

Pernah membongkar handphone atau microwave atau mesin cuci? Ya, sekedar
ingin menunjukkan, bahwa di dalam alat-alat tersebut memang ditanam sebuah
"komputer" utk mengatur fungsi-fungsi yang ada. Makanya, harga piranti
elektronik semakin hari semakin murah, namun semakin canggih. Penasaran?
Mungkin kalau ada waktu luang, silahkan mencoba melihat-lihat isi dari
piranti-piranti tersebut :-)

Mungkin contoh lain yang lebih "sederhana", yaitu traffic light. Bagaimana
mengatur traffic light di sebuah persimpangan jalan yang rame? Apakah ada
orang yang mengaturnya? 20 tahun lalu, kita perlu membuat rangkaian
elektronik yang lumayan rumit. Hari ini, tidak lebih dari seukuran korek api
:-)

Nah, saya ingin isu-isu teknologi di atas, bisa mulai diperkenalkan di
lingkungan sekolah kita. Di Amerika, anak-anak SMP sudah bisa membuat robot
sederhana. Hanya saja, setelah saya hitung, investasi utk laboratoriumnya,
perlu puluhan bahkan ratusan juta. Kita tidak perlu seperti itu. Cukup mulai
dgn piranti yang sederhana. Kalau anak2 di U.S. cukup masuk lab dan
berkreasi, anak2 kita harus sedikit berpikir dulu, bagaimana berkreasi dgn
biaya yang semurah mungkin :-)

Hari Senin kemarin saya ngobrol dgn seorang orang tua yang anaknya sekolah
di SMA Aloysius. Saat saya bercerita soal robotika di TRIMULIA, beliau
langsung berkomentar, "Wah, TRIMULIA lebih maju dari Aloysius, yah!". Saya
berkomentar dalam hati, "Kalau pada tataran impian dan cita-cita, sih,
Aloysius atau Penabur, lewat! Namun, dalam prakteknya, kita harus berjuang
dan bekerja lebih giat untuk menggapai impian tersebut!"

Selamat berjuang dan berkarya, teman!

Pembelajaran ICT di Sekolah

Sebenarnya, apa, sih, tujuan pembelajaran I.C.T - Information &
Communication Technology, di sekolah? Apakah targetnya menguasai sebuah
software pengolah kata? Atau, bisa menggambar dgn menggunakan komputer,
sehingga begitu lulus, bisa langsung diserap oleh industri?

Apa perbedaan pembelajaran ICT di sekolah dgn tempat kursus komputer? Toh,
banyak anak sekolahan juga yang kursus komputer di sana, untuk materi yang
sama. Apakah ini berarti, pembelajaran ICT di sekolah, tidak bisa memenuhi
harapan kebanyakan siswa?

Kedua, persoalan software yang digunakan dalam berpraktek. Sebagian sekolah
mengikuti mainstream Microsoft, supaya tidak repot. Toh, komputer di rumah
pun menggunakan software Microsoft (meskipun bajakan). Jadi, kalau ada tugas
dari sekolah, bisa dikerjakan di rumah tanpa perlu repot-repot, karena
platform software-nya sama.

Belajar ICT berbeda dgn belajar matematika, fisika, atau yang lainnya.
Mempelajari ICT, berarti kita mempelajari suatu teknologi berikut dgn
perkembangannya. Dgn demikian, perlu dinamika pembelajaran yang mampu
mengikuti setiap perkembangan tersebut. Jadi, bukan produk ICT-nya yang
dipelajari, tapi semangat yg muncul dalam mempelajari produk ICT itu, yang
harus ditumbuhkembangkan pada setiap individu pembelajar. Bila tidak
memiliki semangat belajar yang dimaksud, kita masih belum keluar dari
kelompok Gagap Teknologi.

Jadi, bila yang harus ditumbuhkembangkan oleh sekolah adalah semangat untuk
belajar dan ber-eksplorasi, maka, apa pun produk ICT (baca: tools) yang
digunakan, tidak jadi persoalan. Mau menggunakan produk Microsoft, silahkan.
Mau menggunakan free software, juga tidak masalah. Adalah sangat menyedihkan
bila seorang pendidik memaksakan sebuah produk software dalam pembelajaran.
Berarti, dia belum memahami esensi pembelajaran ICT sesungguhnya.

Apa yang kita sombongkan?

Seorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat
Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan ember dan menyikat
lantai rumahnya keras-keras. Keringatnya bercucuran deras. Menyaksikan
keganjilan ini orang itu bertanya, "Apa yang sedang Anda lakukan?"

Sang Guru menjawab, "Tadi saya kedatangan serombongan tamu yang meminta
nasihat. Saya memberikan banyak nasihat yang bermanfaat bagi mereka. Mereka
pun tampak puas sekali. Namun, setelah mereka pulang tiba-tiba saya merasa
menjadi orang yang hebat. Kesombongan saya mulai bermunculan. Karena itu,
saya melakukan ini untuk membunuh perasaan sombong saya."

Sombong adalah penyakit yang sering menghinggapi kita semua, yang
benih-benihnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat terbawah,
sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih
rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain.

Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa
lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain.

Di tingkat ketiga, sombong disebabkan oleh faktor kebaikan. Kita sering
menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus
dibandingkan dengan orang lain.

Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita
mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong
karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena
seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.

Akar dari kesombongan ini adalah ego yang berlebihan. Pada tataran yang
lumrah, ego menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri (self-esteem) dan
kepercayaan diri (self-confidence). Akan tetapi, begitu kedua hal ini
berubah menjadi kebanggaan (pride), Anda sudah berada sangat dekat dengan
kesombongan. Batas antara bangga dan sombong tidaklah terlalu jelas.

Kita sebenarnya terdiri dari dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan
kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam
keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu,
kita mulai memupuk berbagai keinginan, lebih dari sekadar yang kita butuhkan
dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih
banyak lagi.

Perjalanan hidup cenderung menggiring kita menuju kutub ego. Ilusi ego
inilah yang memperkenalkan kita kepada dualisme ketamakan (ekstrem suka) dan
kebencian (ekstrem tidak suka). Inilah akar dari segala permasalahan.

Perjuangan melawan kesombongan merupakan perjuangan menuju kesadaran sejati.
Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan
paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada
hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik, tetapi makhluk spiritual. Kesejatian
kita adalah spiritualitas, sementara tubuh fisik hanyalah sarana untuk hidup
di dunia. Kita lahir dengan tangan kosong, dan
(ingat!) kita pun akan mati dengan tangan kosong. Pandangan seperti ini
akan membuat kita melihat semua makhluk dalam kesetaraan universal. Kita
tidak akan lagi terkelabui oleh penampilan, label, dan segala "tampak luar"
lainnya. Yang kini kita lihat adalah "tampak dalam". Pandangan seperti ini
akan membantu menjauhkan kita dari berbagai kesombongan atau ilusi ego.

Kedua, kita perlu menyadari bahwa apa pun perbuatan baik yang kita lakukan,
semuanya itu semata-mata adalah juga demi diri kita sendiri. Kita memberikan
sesuatu kepada orang lain adalah juga demi kita sendiri.

Dalam hidup ini berlaku hukum kekekalan energi. Energi yang kita berikan
kepada dunia tak akan pernah musnah. Energi itu akan kembali kepada kita
dalam bentuk yang lain. Kebaikan yang kita lakukan pasti akan kembali kepada
kita dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, makna hidup, maupun kepuasan
batin yang mendalam. Jadi, setiap berbuat baik kepada pihak lain, kita
sebenarnya sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Kalau begitu, apa
yang kita sombongkan?

Sinergi Teori dan Aplikasi

Dalam event LCEN (Lomba Cipta Elektroteknik Nasional) yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun, ada sebuah tantangan yang bisa disambut oleh para siswa SMP/SMA; khususnya dalam meng-aplikasikan setiap pengetahuan yang diperolehnya di kelas.

Bagi saya, kata *aplikasi* memiliki arti yang sangat penting. Karena, melalui kata inilah, sebuah pengetahuan yang abstrak, bisa membumi dan dimanfaatkan. Untuk tingkatan SD/SMP/SMA, bisa dimulai dgn aplikasi-aplikasi sederhana, yang dapat dimanfaatkan sehari-hari.

Dalam event LCEN 2007 di Surabaya, SMP Muhammadiyah 5 Surabaya mengembangkan aplikasi *menangkap tikus dgn gelombang ultrasonik*. Sebuah cara sederhana untuk meng-aplikasikan teori gelombang (bunyi) dalam konteks lingkungan. Sebuah aplikasi sederhana namun kerap tidak terpikir. Kebanyakan guru hanya mendorong siswa untuk menghapal rumus, men-drill soal, dan tidak meng-inspirasi siswa, bagaimana memanfaatkan teori dan pengetahuan tersebut? Ada pepatah, guru yang luar biasa adalah guru yg meng-inspirasi siswanya.

Benarlah kata Einstein, yang menyebutkan bahwa pengetahuan sebenarnya adalah apa yang tersisa saat kita tidak lagi di bangku sekolah.

Saya masih ingat, tatkala usai kelulusan sewaktu SMA, ada seorang teman tanya, "Nilai bagus yang kamu dapat, untuk apa?" Pertanyaan ini membuat saya tidak bisa tidur. Nilai terbaik, beasiswa yang pernah didapat, seolah tidak ada harganya. Secara teori, saya mampu mengerjakan soal dgn baik. Namun dalam hal praktek dan pemanfaatan teori tersebut, saya tidak bisa apa-apa. Pikiran ini blank ketika ditanya soal aplikasi.

Banyak orang tua mempercayakan anak-anaknya untuk saya didik (privat ~ 30 anak selama 6 tahun, SD s.d. SMA), namun, saya hanya bisa memberikan peningkatan dari sisi akademis saja. Baru setelah menginjak semester 6 perkuliahan, pikiran ini mulai sedikit terbuka, setelah ada satu siswa kelas 3 SMA yang "menantang" saya untuk memberikan pelatihan khusus membuat virus komputer, dan dia berani membayar mahal. Saya langsung terima tantangan itu, karena memang menantang dan saya perlu tambahan uang untuk bayar kuliah. Terakhir, saya mendapat kabar, anak ini sudah menjadi manager I.T. di salah satu bank swasta terbesar di Indonesia.

Setelah beberapa tahun lulus kuliah, saya diberi kesempatan untuk membimbing satu mahasiswa jurusan Kimia Universitas Pajajaran. Mahasiswa ini memiliki IPK hampir sempurna, dan tengah resah dgn skripsi yang akan dibuatnya. Dalam kasus ini, saya seolah berhadapan dgn cermin. Teorinya sangat excellent, namun saat dihadapkan pada aplikasi, bingung. Saya menerima tantangan membimbing (walaupun unofficial, karena saya bukan dosen), karena saya pikir, ini akan memberikan pengalaman. Secara materi, saya tidak mendapatkan apa-apa. Namun secara nilai dan pengalaman, luar biasa! Saat ini, dia sudah jadi direktur sebuah perusahaan kimia besar di Jakarta.

Saat ini, sebagai bagian dari konteks pekerjaan, saya lebih sering berhadapan (saat memberikan training) dgn sarjana strata satu maupun dua, dari berbagai disiplin ilmu, dari berbagai universitas ternama di negeri ini. Saya melihat satu kondisi yang sama. Banyak trainee yang memiliki latar belakang akademis yang excellent, namun, saat dihadapkan pada tantangan aplikasi, banyak yang blank. Makanya, muncul banyak isu, bahwa produk perguruan tinggi hanya menghasilkan sarjana siap latih, bukan siap pakai.

Saya mencoba menarik benang merah dari fakta-fakta yang saya temukan tersebut. Intinya, teori dan aplikasi harus ber-sinergi, sehingga bisa memberikan hasil yang excellent.

Saat ini, pemerintah pun sudah menyadarinya (dgn tingkat pengangguran kerah putih yang cukup besar, better late than never), dgn mencoba mengambil short cut, dgn memberdayakan sekolah menengah kejuruan dan politeknik.

Nah, bagaimana dengan sekolah umum kebanyakan?

Saya melihat, tantangannya jelas. Perlu sinergi yang kuat antara teori dan aplikasi, sehingga siswa bisa merasakan manfaat dari setiap ilmu yang dipelajarinya.

Dalam sebuah sharing di satu komunitas, ada beberapa dosen elektro dan komputer, yang mengeluh, kerepotan dan kesulitan menyampaikan bahan ajar. Saya mencoba untuk "menghibur" dgn memberikan sharing sebuah pengalaman kecil. Kalau sulit masuk dari pintu masuk, kenapa tidak mencoba masuk dari pintu keluar? Hmm .. mungkin ini cara yang melawan arus dan tidak biasa. Saya pernah ber-eksperimen, dan hasilnya tidak mengecewakan. Prinsipnya, kita harus mengajak siswa untuk memahami secara konkret, setiap topik yang akan dipelajari. Dgn demikian, walaupun jalannya berliku, namun karena tujuannya jelas dan masuk akal, maka mereka akan melangkah dgn semangat.

Beberapa siswa SMA yang sempat saya ajak bicara pun, memiliki tipikal serupa. Mereka bilang, "Buat apa belajar sesuatu yang tidak jelas kegunaannya?" Bahkan ada satu guru, setelah berdiskusi cukup panjang soal teknik pengendali, berkata, "Ternyata, kalkulus bisa di-aplikasikan juga."

Nah, ini adalah tantangan untuk kita semua, terutama para pendidik. Bila sekolah kita berjalan dgn cara biasa, maka hasilnya pun akan biasa-biasa saja. Namun, bila kita mampu men-sinergikan teori dan aplikasi, melakukan sesuatu yang luar biasa, maka, saya yakin, hasilnya pun akan luar biasa.

Berikut adalah beberapa aplikasi lain yang diangkat dalam final LCEN 2007.

* Menangkap ikan bandeng lebih banyak dgn pemanfaatan bunyi (SMA Al Fattah).
* Robot pembersih lantai, sarana pembantu pekerjaan rumah tangga (SMAN 1 Denpasar)
* Pembangkit ozon untuk memasak air (SMPN 4 Sidoarjo)
* Penetral asap (SMAN 1 Pekanbaru)
* Oksigen ruangan dengan pemanfaatan sinar merah dan biru (SMA Al Fattah)
* Rice cooker cerdas hemat energi dgn memanfaatkan media kapuk (SMA Al Fattah)

Aplikasi yang sederhana namun berguna bagi kehidupan. Sebuah aplikasi dari teori yang mereka peroleh di kelas. Mampukah siswa/i sekolah kita melakukannya? Siapa takut!